Konsep Tauhid Menurut Isma'il Raji Al-Faruqi

Tauhid adalah fitrah dari setiap makhluk. Tauhid berarti mengesakan Allah, sebagai satu-satunya Tuhan Pencipta alam. Tuhan adalah sebab utama segala sesuatu, sumber segala nilai atau disebut dengan The Ultimate Being. Dengan demikian, Tuhan adalah tujuan akhir segala sesuatu, di mana segala akhir bermuara padanya. Syahadah seorang muslim berarti meniadakan tuhan selain Allah mengakui keberadaan Allah sebagai satu-satunya Tuhan. Syahadat adalah aplikasi dari tauhid.
Sejarah telah menjadi saksi akan perbedaan persepsi manusia mengenai Tuhan: sejak pertama kali manusia diciptakan hingga hari ini, manusia berbeda-beda dalam persepsinya mengenai The Ultimate Being, Allah.[1]
Islam adalah agama yang diturunkan Allah kepada umat manusia, syariahnya kekal terjaga, melewati batas ruang dan waktu. Aqidah Islam adalah tauhid, mengakui adanya satu Tuhan, sebagai satu-satunya kebenaran. Aqidah bukanlah hal yang bersifat ijtihady –hasil dari ijtihad, namun aqidah adalah nilai-nilai yang tetap dan kekal, dengan manifestasinya pengetahuan akan Tuhan, melalui agama yang diturunkan kepada umat manusia dengan perantara para utusannya.
Dr. Isma'il Raji Al-Faruqi (1339-1406/ 1921-1986) adalah seorang penulis Islam, terutama dalam bidang perbandingan agama. Setelah menyelesaikan studinya di Palestina tanah airnya, ia meneruskan perjalanan intelektualnya di American University Beirut hingga mendapatkan gelar B.A di bidang filsafat, kemudian ia hijrah ke Amerika dan meraih M.A di bidang filsafat pada Indiana University dan Harvard University, dilanjutkan dengan Ph.D dalam bidang filsafat pada Indiana University. Aktivitas akademisnya tidak terhenti sampai di sini, ia berikutnya menimba ilmu di Al-Azhar University mengenai Islam dan di McGill University dalam bidang Kristen dan Yahudi.
Sebagai seorang akademisi yang aktif, Al-Faruqi tidak hanya berkutat dengan studi keislaman, ia pun menulis buku-buku mengenai Islam dan beberapa di antaranya mengenai agama lain, di antaranya, Al-Tawhid: Its Implication for Though and Life, Trialogue of the Abrahamic Faiths, Historical Atlas of the Religions of the World, Christian Ethics: A Systematic and Historical Analysis of its Dominant Ideas, dan karya-karya lain.
Al-Faruqi mendirikan Islamic Studies Group of the American Academy of Religion, dan mengepalainya selama sepuluh tahun, menjadi wakil presiden pada Inter-Religious Peace Colloquim, The Muslim-Jewish-Christian Conference dan menjadi presiden pada American Islamic College di Chicago. Selain itu ia pun menjadi dosen tamu di universitas-universitas Islam di dunia.[2]

Tauhid Sebagai Inti Pengalaman Beragama
Agama adalah fitrah bagi setiap manusia. Setiap manusia memiliki kesadaran akan eksistensi adanya Tuhan, sebagai inti dari pengalaman keberagamaannya. Manusia menemukan bahwa pada dirinya terdapat keimanan dan keyakinan terhadap Tuhan dan nilai-nilai kebenaran.[3]
Meskipun demikian, manusia memiliki kecenderungan untuk berubah dari masa ke masa dikarenakan disorientasi fitrah yang dimilikinya. Karena itulah, manusia memerlukan petunjuk, dirumuskan dalam ajaran agama yang membimbing manusia ke jalan yang benar.[4]
Islam mengakui semua agama sebagai de jure, mengingat bahwa Allah tidak hanya menurunkan satu agama saja untuk umat manusia, namun agama-petunjuk dari Tuhan- beragam dan beraneka, namun dengan satu ikatan, yaitu tauhid-penetapan Allah sebagai satu-satunya Tuhan dan negasi apa yang disembah selain-Nya.[5]
Islam datang sebagai penutup agama samawi, setelah sebelumnya didahului oleh Yahudi dan Kristen. Seorang muslim dalam hidupnya dengan sadar mengakui eksistensi Allah, sebagai Tuhannya dan Tuhan bagi semesta alam.
Syahadat dalam Islam, yang berlafal:,
لاَ إِلهَ إلا الله
tiada tuhan selain Allah, bermakna dua, nafy –peniadaan- dan ithbat –penetapan-, berarti peniadaan tuhan lain selain Allah, dan penetapan Allah sebagai satu-satunya Tuhan.
Ismai'il Raji Al-Faruqi menyatakan dalam bukunya Al-Tawhid bahwa konsep ini mengajarkan bahwa Allah sebagai Tuhan, memiliki entitas yang berbeda dengan makhluk-Nya. Konsep ini dikenal dengan dualisme, adanya dua entitas yang eksis di dunia: Pencipta dan ciptaan. Pencipta adalah Allah, sedangkan ciptaan adalah segala sesuatu selain Allah. Dengan demikian, tidaklah mungkin bagi ciptaan untuk menempati posisi Pencipta, karena Pencipta adalah Zat yang Absolut.[6]
Konsep Tuhan dalam Islam bukanlah sebagai mana agama lain melakukan personifikasi kepada tuhan mereka sebagai penyelamat, penebus dosa, Bapa, anak dan sebagainya. Tuhan adalah Dzat yang transenden dan mutlak, sama sekali berbeda dengan makhluknya. Maka tidak sepatutnya manusia, sebagai ciptaan, menciptakan dari pemikiran mereka sendiri mengenai personifikasi ataupun atribusi kepada Dzat Pencipta. [7]
Manusia diciptakan dengan status khalifah di muka bumi. Khalifah adalah wakil dari Allah, untuk mewujudkan khilafah sebagaimana yang dikehendaki-Nya. Penciptaan ini digambarkan secara dramatis dalam Al-Qur'an, ketika Allah memberitahukan para malaikat bahwa Ia menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi. Malaikat kemudian mempertanyakan, kenapa Allah menjadikan manusia khalifah di bumi, padahal ia akan merusak di dalamnya dan menumpahkan darah, sedangkan berlawanan dengan manusia, mereka, para malaikat, selalu bertasbih kepada-Nya dan mensucikan-Nya, pun mentaati segala perintah-Nya.[8]
Kekhilafahan manusia bukanlah tanpa sebab, ia adalah ciptaan yang memiliki kapabilitas untuk melaksanakan kehendak Tuhan, atas kehendaknya sendiri. Kebebasan, adalah hal yang membedakan antara manusia dan malaikat. Malaikat tidak memiliki kebebasan, selalu mentaati perintah-Nya. Manusia memiliki hak prerogatifnya, yaitu memilih dengan kehendaknya sendiri.[9] Pada bagian lain Al-Qur'an, Allah memberitahukan bagaimana Ia menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung, maka mereka pun berpaling ketakutan dari tawaran ini. Akan tetapi, manusia menerima amanat ini, dengan kebebasannya untuk berkehendak.
Dengan pemberian ini, manusia memiliki peran untuk menjalankan kehendak Allah di muka bumi. Maka tidaklah mungkin, manusia dibiarkan begitu saja dalam keadaan tersesat tanpa petunjuk. Untuk mengetahui kehendak-Nya, Allah memberikan apa yang disebut dengan wahyu kepada mereka yang dikehendaki-Nya untuk menjadi utusan.[10]
Inti dari agama yang dengannya para rasul diutus oleh Allah adalah ibadah kepada Allah semata, tidak menyembah selain-Nya, memohon pertolongan kepada-Nya, bertawakkal, berdoa akan kebaikan dan meminta perlindungan dari keburukan.[11]
Akan tetapi, tidak hanya kebebasan, manusia juga diberi pedoman yang disebut suatu dengan nilai moral, kemampuan untuk menentukan kebenaran maupun kesalahan dalam situsnya. Kebebasan untuk berkehendak bukanlah berarti manusia selalu benar dalam hidupnya. Tidak. Manusia, justru dengan kebebasannya memiliki peluang besar, dalam memilih untuk tidak melaksanakan kehendak Tuhan. Pada akhirnya, tanpa inisiasi dan usaha dari manusia, sebagai resultan dari pilihan untuk tidak melaksanakan perintah-Nya, semua nilai dan esensi dirinya akan runtuh.
Dengan semua kemampuannya, manusia menjadi makhluk yang paling berkompeten untuk memakmurkan bumi. Manusia memiliki potensi untuk mengembangkan peradaban, teknologi, masyarakat dan semua yang dibutuhkannya, berbeda dengan eksistensi lainnya, manusia sebagai makhluk yang berkembang, mengembangkan kebudayaannya dari waktu ke waktu. Potensi itu terwujud dengan status manusia sebagai khalifah di muka bumi.[12]
Berseberangan dengan Kristen yang berpegang pada kredo dosa warisan yang pada akhirnya seorang manusia yang lahir memerlukan penebusan dosa, Islam berpendapat bahwa setiap manusia terlahir dalam keadaan suci, atas fitrahnya, yakni tauhid. Sebelum ia lahir di muka bumi, ketika masih berada dalam alam ghaib sebelum dunia, manusia telah diminta kesaksiannya mengenai ketuhanan Allah, dan ia pun bersaksi, sebagai mana termaktub dalam Al-Qur'an:
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِن بَنِي آدَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنفُسِهِمْ أَلَسْتَ بِرَبِّكُمْ قَالُواْ بَلَى شَهِدْنَا أَن تَقُولُواْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ.
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan
anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian
terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini
Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami
menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari
kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam)
adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)",[13]

Tauhid Sebagai Worldview Islam
Isma'il Raji Al-Faruqi dalam Al-Tawhid menyebutkan, keberadaan kalimat tauhid 'tiada tuhan selain Allah' memiliki kekayaan makna dan keseluruhan inti dalam Islam. Kesatuan budaya, peradaban bahkan alam semesta terangkum dalam tauhid. Tauhid adalah pandangan umum dari realitas, dari kebenaran, dunia, ruang dan waktu.
"Traditionally and simply expressed, al tawhid is the conviction and witnessing that "there is no god but God." This seemingly negative statement, brief to the utmost limits of brevity, carries the greatest and richest meanings in the whole of Islam. Sometimes a whole culture, a whole civilization, or a whole history lies compressed in one sentence. This certainly is the case of the al kalimah (pronouncement) or al shahadah of Islam. All the diversity, wealth and history, culture and learning, wisdom and civilization of Islam is compressed in this shortest of sentence – la ilaha illa Allah (There is no god but God)".[14]

Tauhid adalah identitas peradaban Islam, yang mengikat keseluruhan aspek kehidupan dan menjadikannya satu organisme yang dinamakan peradaban. Ikatan itu menciptakan transformasi dari aspek-aspek yang tercerai-berai menjadi kesatuan nilai peradaban, melahirkan apa yang dinamakan disiplin ilmu, yang bersumber dari tauhid, baik dari logika, epistemologi, metafisika maupun etika.
Tanpa adanya tauhid, Islam tidak akan ada. Kenabian dan risalah akan runtuh tanpa dasar tauhid. Dibandingkan dengan dua agama samawi yang telah mengalami korupsi di tangan para pengikutnya, yang berakibat pada disorientasi ajaran dan degradasi, orisinalitas Islam terjaga oleh tauhid.
Sebagai pembentuk identitas peradaban Islam, tauhid mengikat semua bagian-bagian sehingga menjadikan mereka badan yang integral dan menyatu menjadi apa yang disebut peradaban.[15]
Agama Yahudi menyatakan tuhan dalam bentuk plural, Elohim, dan menisbatkan kepada tuhan-tuhan mereka perbuatan yang tidak layak. Mereka pun menetapkan diri mereka sendiri sebagai anak-anak tuhan, dan dalam konsep mereka yang etnosentris- The Chosen Nation, menganggap non yahudi sebagai gentile yang tidak pantas untuk hidup berdampingan dengan keturunan Yahudi asli. Mereka beranggapan bahwa tangan Tuhan terikat dan lemah. Hal ini jelas-jelas bertentangan dengan tauhid asli yang dibawa oleh nabi Musa.[16] Tuhan, bagi mereka memiliki berbagai nama: El, Yahweh, dengan berbagai personalisasi masing-masing.[17]
Sebagai solusi dari fanatisme parah yang terjadi pada Yahudi, Kristen datang dan kemudian pada akhirnya jatuh pada peniadaan kehidupan duniawi secara berlebihan, bahwa manusia adalah massa peccata, makhluk yang terlahir dengan dosa, beranggapan bahwa satu-satunya keselamatan adalah gereja dengan kredo extra ecclesiam nulla salus, tidak ada keselamatan di luar gereja.
Selain daripada itu, korupsi aqidah yang terjadi merubah tatanan worldview Kristen yang semula risalah samawi yang berorientasi pada tauhid, berganti menjadi politheisme yang kacau, dengan dogma akan adanya tiga oknum dalam satu tuhan. [18]
Dalam Kristen, penggunaan rasio dalam memahami kitab adalah hal yang tidak diperbolehkan, agama adalah kepercayaan yang harus diyakini, tidak untuk dipahami. Hal ini bertentangan dengan Islam, keyakinan didasarkan kepada kepahaman. Kita beriman karena kita memahami, tidak hanya sekedar karena kita meyakininya.
Islam mendeklarasikan transendensi Tuhan sebagai kepentingan setiap orang. Ini mengisyaratkan bahwa Allah telah menciptakan semua manusia dengan potensi untuk mengenali-Nya dalam transendensi. Inilah yang dikenal dengan fitrah, sebuah sensus communis, keadaan alami di mana setiap orang terlahir.
Kesamaan fitrah pada akhirnya menyimpul pada kenyataan bahwa semua manusia sama, yang membedakan hanyalah sejauh mana pengaruh implikasi tauhid pada hidupnya.
Tauhid adalah jalan keluar dan solusi final dari persepsi umat manusia mengenai Tuhan, setelah dunia terpecah ke dalam dua arus keagamaan: religiusitas Hindu dan religiusitas Hellenis.  
Hindu mempercayai bahwa materialisasi dianggap sebagai sebuah perbuatan yang salah. Dunia adalah buruk dan jahat pada aslinya, dan menganggap nirvana ataupun brahman sebagai kebenaran hakiki, summum bonum, puncak dari segala sesuatu. Maka seluruh perbuatan duniawi dianggap sebagai sebuah kejahatan. Pengelolaan bumi, produksi, pendidikan, mobilisasi kehidupan, penciptaan sejarah adalah kejahatan, karena kesemuanya memperpanjang jangka hidup duniawi. Jalan keselamatan baginya adalah individualisme dan penolakan dunia.[19]
Religiusitas Hellenis, setelah bercampur dengan kepercayaan Mesir Kuno dan agama-agama Yunani, menciptakan pandangan di mana tuhan ataupun dewa melakukan inkarnasi dalam wujud manusia untuk menjaga keberlangsungan semesta, sebaliknya, manusia memiliki kemampuan untuk melakukan asosiasi dirinya sendiri dengan tuhan.
Islam, yang muncul terakhir di antara kepercayaan-kepercayaan tersebut memberikan sebuah solusi yang final: Tauhid. Peradaban Islam adalah peradaban tauhid, yang menjadikan tauhid sebagai asas seluruh bangunan kehidupan.
Dikatakan oleh Murad W. Hoffman dalam bukunya Bangkitnya Agama:
"Muhammad muncul sebagai nabi terakhir sebab hal yang dipermasalahkan tidak lain adalah soal restorasi monoteisme Ibrahim, agama alam (religi naturalis) yang serasi dengan sifat (fitrah) manusia".[20]

Islam, dalam framework tauhid, mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan, khalifah di muka bumi, pengemban amanat-Nya untuk mewujudkan kehendak Allah di bumi. Ia dilahirkan atas fitrah, sehingga bertolakbelakang dengan Kristen yang beranggapan bahwa setiap manusia terlahir dengan peccatum originale atau dosa warisan. Berlawanan pula dengan Yahudi, fitrah adalah sensus communis milik setiap orang, bukan sekedar milik kaum tertentu.[21]
Islam adalah agama yang komprehensif dengan wawasannya yang relevan bagi setiap aktivitas manusia, bagi setiap usaha, baik fisik maupun spiritual. Islam bukanlah agama yang tidak menghendaki dunia ini, seperti Kisten dan Budhisme yang cukup jika mengatur unsur-unsur keagamaan dan menyerahkan unsur lainnya pada penguasa.[22]
Penutup
Tauhid adalah konsep final bagi umat manusia, karena ia adalah fitrah bagi setiap orang. Meskipun agama-agama samawi pada dasarnya mengusung ajaran ini, namun setelah berlalunya sejarah hanya Islam yang masih berpegang teguh padanya. Islam menjadikan sebagai inti dari kepercayaan dan asas bagi semua nilai.
Tauhid adalah pengakuan atas entitas Tuhan yang mutlak disertai dengan negasi atas segala apa yang disembah selain-Nya. Ia merupakan pengukuhan atas transendensi Tuhan dan absolutisme-Nya.
Dalam rangka mengemban amanat manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi, maka manusia memerlukan petunjuk –yaitu agama. Inti dari agama-agama yang diturunkan Allah melalui para rasul adalah penetapan uluhiyyah Allah dan negasi atas penyembahan selain kepada-Nya. Konsep inti dari agama adalah tauhid, yang di atasnya dibangun seluruh aspek kehidupan.
Sebagai worldview dari Islam, hendaknya setiap muslim mulai untuk menyelami kedalaman dari tauhid yang diyakininya secara de jure. Kemudian, menerapkan implikasi dari tauhid ke dalam setiap segi kehidupannya secara menyeluruh. Penghayatan individual akan membentuk kesadaran kolektif akan kedalaman tauhid. Dengan demikian, umat Islam dengan tauhid sebagai asas kehidupannya akan menuju kepada khairu ummah, umat terbaik. Wallahu a'lam.
Referensi
Al Banna, Shofwan. Palestine, Pro You Media, Yogyakarta, Tanpa Tahun.
Al-Faruqi, Isma'il Raji. Al-Tawhid. Cetakan IV. Herndon: The International Institute of Islamic Thought, 1992
_________, Atlas Budaya Islam. Cetakan I. Mizan, Bandung, 1998
_________, Islamisasi Pengetahuan. Cetakan I. Pustaka, Bandung, 1984
Armstrong, Karen. Sejarah Tuhan, Cetakan VII, Penerbit Mizan, Bandung, 2004.
Hofmann, Murad Wilfred. Bangkitnya Agama, Cetakan I. Jakarta, Serambi, 2003.
Quraishi, M. Thariq, Isma'il Al-Faruqi: An Enduring Legacy. Cetakan II, The Muslim Students Association of the United States and Canada, Indiana USA, 1987. 
ابن تيمية، الجواب الصحيح لمن بدل دين المسيح، دار العاصمة، الرياض، 1419
_________، الجامع الفريد، بلا سنة.
زركشي، الدكتور أمل فتح اللهز عقيدة التوحيد، جامعة دار السلام للطباعة والنشر، فونوروكو، 2008.



[1] Al-Baqarah 213
[2] Isma'il Raji Al-Faruqi, Al-Tawhid. Cetakan IV. The International Institute of Islamic Thought, Herndon USA, 1992
[3]  الدكتور أمل فتح الله زركشي، عقيدة التوحيد، جامعة دار السلام للطباعة والنشر، فونوروكو، 2008، ص. 63
[4] Ibid.
[5] M. Thariq Quraishi, Isma'il Al-Faruqi: An Enduring Legacy. Cetakan II, The Muslim Students Association of the United States and Canada, Indiana USA, 1987. 
[6] Al-Faruqi, op. cit., Hal. 3
[7] Ibid, Hal. 3
[8] Al-Baqarah 30
[9] Ibid, 4
[10] Ibid, hal. 6.

[11]   أحمد بن تيمية والآخرون، الجامع الفريد، ص. 423
[12] Shofwan Al Banna, Palestine, Pro You Media, Yogyakarta, Tanpa Tahun. Hal . 15
[13] Al-A'raf 172
[14] Al-Faruqi, op. cit., hal. 30
[15] Al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, Cetakan I, Mizan, Bandung, 1998
[16] Ibid, hal. 21
[17] Karen Armstrong, Sejarah Tuhan, Cetakan VII, Penerbit Mizan, Bandung, 2004. Hal.41
[18] ابن تيمية، الجواب الصحيح لمن بدل دين المسيح، دار العاصمة، الرياض، 1419، ص. 342
[19] Al-Faruqi, op. cit., hal.  32
[20] Murad W. Hofmann, Bangkitnya Agama, Jakarta, Serambi, 2003, hal. 171.
[21] Al-Faruqi, op. cit., hal. 32
[22] Al-Faruqi. Islamisasi Pengetahuan. Cetakan I. Pustaka, Bandung, 1984, hal. 32

0 komentar:

Posting Komentar