Batas antara Tauhid dan Syirik?

Beberapa waktu lalu, aku harus berurusan dengan makhluk gaib. Aku tentu saja, bukan orang ‘ahli’ dalam hal ini.Seseorang yang dikirimi tenung? Hmm, ada yang lebih logis lagi?  
God, help me out of this.
Satu hal saja, punya urusan dengan hal-hal seperti ini berarti satu: pertaruhan tauhid.
Tauhidku betul-betul ditantang.
Ketakutan pada hal selain Allah berarti syirik, itu harga mati yang tidak bisa ditawar.
Akhirnya, tantangan disambut.
Aku tidak bisa melihat apa-apa.
Kata yang bisa ‘melihat’, mereka memang bisa mengindera adanya makhluk supranatural di sana.
Peduli dengan itu, aku lebih fokus kepada subjek sendiri.
Subjek harus memiliki keinginan untuk melawan, bukan menyerah terhadap serangan.
Manusia memiliki derajat lebih dari makhluk lain, itulah konsensus yang ada.
Kenapa takut pada makhluk lain?
Masalah bertambah runyam, ketika saudara dari subjek datang dan mengatakan bahwa ia baru saja melakukan ‘konsultasi spiritual’. Dengan berbekal ‘air suci’ dalam botol, ia melakukan exorcism, bahasa lain  untuk 'mengusir begituan'.
Hahaha… ketika di sini kita mengusahakan cara yang syar’i, ia datang dengan solusi yang cukup mengerikan…. Tapi aku kira, subjek cukup nalar untuk menolak hal-hal berbau syirik.
Sejauh ini aku hanya bisa mendoakan subjek supaya sembuh total.
Antara dunia ini dan dunia gaib ada tapal batas, yang tidak bisa dilanggar. Hal-hal gaib ada untuk diyakini, tidak untuk diminta bantuan darinya. Meminta bantuan dari hal gaib, percaya bahwa kekuatannya lebih dari Allah, adalah syirik. Datang kepada dukun, memiliki konsekuensi tidak diterima 40 hari shalatnya.
Secara ironis televisi kita menayangkan hal-hal yang berbau mistik dan dasar manusia, selalu tertarik pada hal-hal yang tidak diketahuinya, klop ‘kan?

0 komentar:

Posting Komentar